Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama su’ adalah ulama’ yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”
Anas meriwayatkan:
“Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Kerana itu, jauhilah mereka”. (HR al-Hakim).
Muadz bin Jabal membahagi ulama su’ di dalam tujuh tingkatan neraka.
Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati.
Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa.
Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya).
Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.
Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya.
Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian.
Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.
Kerana semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipu daya ulama su’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada syaitan. Sebab, melalui merekalah syaitan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.”
Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama su’.”
Wallahualam.